apa yang di palingkan

nurani tlah berbisik pada telinga yang tuli
mencoba tuk membakar apa yang tak dapat merasakan
menenggelamkan apa yang tak dapat bernafas
memperlihatkan keindahan pada apa yang tak dapat melihat

itulah tiga empat apa yang telah di langkahkan
bahkan bukan hanya terbatas pada tiga empat
seribu, berjuta, bermilar, hingga tak terbatas

pada nyata, bukanlah nurani berbisik pada yang tuli
bukan membakar yang tak dapat merasakan
atau apa yang dipandang tak ada guna.

raga adalah dalangnya
yang membuat nurani berbuat jauh

sesungguhnya, apa yang nurani langkahkan
hanya untuk satu tujuan

agar dapat raga tidak sekalipun lagi
membakar dirinya sendiri demi mendengar nurani

itulah gejolak raga pada nurani

namun, semakin lama raga membakar dirinya
membutakan mata, menulikan telinga
semakin cepat waktu datang untuk menghancurkannya

Detik Kami


Puing Waktu Lalu

Kukan merasa lebih tenang jika ada tanganmu yang selalu menggenggam jiwaku dan berada pada satu hitam yang mengekor denganku.
***

Masa ini belumlah jauh melangkahkan jarumnya.. Ini tersirat masihlah tinggi antara kau dan aku. Bukan pungguk merindukan bulan, namun hanya aku yang mengharap kesatuan rumah dengan atapnya. Dan kini, aku benar benar cemburu pada mawar yang satu dengan durinya. Betapa mereka adalah satu kesatuan abadi. Tak seperti benang kusut tua lusuh ini. Sudahlah kusut, rapuh pula.

Tak bisa menyatukan, tak punya tangan tuk membantunya. Sungguh malang. Tapi, itulah aku. Tlah kehilangan tangan lain yang memberi kekuatan lebih untuk sluruh ragaku. Walau sesak rasanya, tak dapat kusesali waktu yang tlah jatuh.
Namun tak dapat pulaku pungkiri, tak sedikitpun dapat meguap dari ingatanku waktu yang berlalu bersamanya. Waktu tlah berganti menjadi bunga abadi tuk kami.
Kemdian terlingkar tali bagi ruang pribadi berdua. Tali yang dapat menghentikan masa bagi orang di dalamnya. Tali yang mengurung dan mengunci orang didalamnya. Tali yang takkan membiarkan siapapun masuk dalam ruang misterius itu. Sungguh tali yang ajaib.
Tapi, masa itu tlah jauh. Kini dimensi kami tlah berbeda. Hanyalah angan bila tangannya menggenggam hatiku. Punggungnya melindungiku dari bara api semesta. Sluruh dirinya sperti tercipta tuk terpasang padaku.
Pada nyatanya,itu hanya ilusi. Ilusi penghias duniaku. Hanya sebagai penambah warna hal yang luas tak terbatas. Sungguh malang diriku karna merasa bodoh dengan mengingat hal yang tlah tak ada. Tapi aku akan setia padanya. Adalah benar puing satu yang tercipta itu. Janji kami. Di tempat ini puing janji itu terbentuk. Tepat subuh ketika dia pergi. Ah, Betapa konyolnya aku. Dia pasti kembali. Bukannya itu yang aku yakini dalam janji waktu? Apalah lagi yang fikir ini jalankan tentang keraguan?
Fikir tlah perlahan menjadi butiran hitam dari fakta. Fakta buta namun adalah peluang dari cahaya. Aku sungguh takut dengan sepenuh hati, fakta buta itu menjadi mlik cahaya kegelapan.
Lalu terjadi dalam nyataku, kita benar terlepas. Sudah tidak jauh dalam ikatan. Namun benar benar jauh dengan segala arti dari jauh dalam lingkup kegelapan. Keraguanku ini memulai tuk memanggil dan sepenuh yang kumiliki meneriakkan kembali waktu bersama, namamu, serta apapun yang menjadi bagian atas hal tak pasti tentangmu. Karna satu satunya dari semua yang bisa memulihkan ku dalam tenang.
Sungguhpun aku sekali lagi dan terus lagi tahu sertapun mengerti ini bukanlah hal yang tepat. Hanya melihat kembali waktu berlalu bersama angin. Andaikan dia tetap memliki kunci dari jalan yang sama denganku. Sedikitpun takkan ada perandaian dia memiliki keinginan serta harapan untukku membekukan masaku agar selalu dapat mengenangnya seperti sekarang. Dan begitu kubakar es, dia telah berada disampingku lagi. Seolah tak sedikitpun dia menghilang dariku.
Aku yang sedari tadi menutup kedua mataku, dengan sungguh perlahan membukanya. Semua ini membuat ku merasa berada pada klimaks awal jalan tak pasti.
Sungguh benar sulit tuk menungkapkan bagaimana rasa gundah yang kumiliki. Dengan berat, jadi pula kuataskan wajah tuk menatap sesuatu yang dia suka, sesuatu yang menjadi saksi detik demi detik hingga ujung jari kami terpisah. Walau ku merasa duniaku berkeping, tetap saja langit itu tak berubah seperti sebelumnya. Langit yang dia suka. Masih memliki rasa yang sama layaknya angin lalu.
Satu satunya hal yang terlintas di fikirku hanya, "apa di harimu yang sibuk ini, masih terdapat ruang waktu tuk melakukan sesuatu yang sama denganku sekarang? Menatap salah satu harta karunmu yang luas." Ah, semoga saja kau sedang menatapnya.
Karna tentu saja dengan langit itu, aku merasa bersama kita ada dalam ruang yang satu. Dan dapat lebih mempercayai bahwa dirimu masih mengingatku. Ya, semoga saja engkau yang berada pada jauh sana masih menyadari bahwa ada seseorang sedang mengharap waktu cepat berlalu sampai datang saat dirimu kembali.
Namun kau tau? Sesungguhnya aku biar bagaimanapun meragu. Dapatkah kita bertahan pada masa yang begini? Dapatkah kita saling setia tanpa ikatan yang nyata? Bagaimana jika datang masa lain. Di mana aku di ambang ragu lalu lari pada hati dekat lain? Aku jelas bahwa kau tak menahanku, namun lebih dari sekedar rumit tuk menjelaskan kontras di hati saat hal itu terjadi. Karna perang antara hati dan fikir.
Seblum detik ini, beribu juta ratus milyar kali kufikir, mencari jalan lain agar tak perlu ini terjadi. Kau di sana aku di sini, bukan pada satu tempat yang sama.
Kelamnya, hingga detik tandukpun, tak ada setitik cahyapun yang menerangi gelap dalam jalan kami. Kumerasakan, mugkin adalah itu yang tak dapat aku trima hingga sekarang dan nanti sampai dia kembli.
Kalimat itu membuatku melayangkan fikir, "akankah suatu hari nanti aku membenci masa di kala mataku menatap matamu untuk pertama kali? Akankah aku bahkan membenci terbentuknya janji janji slma ini? Akankah terbentuk sesal atas smua antara kau dan ak? Akankah aku akan berlindung dalam benci darimu untuk hatiku? Dapatkah akhirnya benar kulakukan semua ini hanya karna satu masa itu? Menghitamkan satu ruang cahaya putih istmewa hanya karna kutak sanggup memilih jalan yang seharusnya kutapaki, karna kutak dapat melupakan mu setelah memilih jalan tuk sebenar benarnya mengusirmu dari ruang istimwa itu."
Oh, hilangnya dirimu membuatku memfikirkan hal hal gelap lain. Walau benar ku mengerti, bagaimana seharusnya ku bersikap serta menetukan sikap. Dan aku memang tlah memilihnya. Tuk menepati janji kita. Janji di tempat ini, bersama bangku yang terselimutkan tangan tangan mawar putih serta bertikarkan hamparan hijau yang terblah oleh aliran air mata langit tuk bmi. Dan Percayalah, ku kan menggengamnya.

Detik Kami

Curahan Hatiku Padamu

Dia benar benar pangeranku. Melihatnya yang sedang menatap langit sepertinya membuatku iri pada langit yang dia liat dengan tatapan yang seperti itu. Dia melihat hamparan biru berhias bunga kapas putih itu dengan sepenuh hatinya. Dia hanya mencurahkan perhatiannya pada langit. Entah dia merasakan aku yang setia padanya atau tidak. Dia bahkan hampir tak berkedip karena tak mau berpisah dengan langit itu walau sekejap matanya.

Sosoknya yang tampan itu seperti sedang tertawa dan bernyanyi dengan langit untuk menghibur dirinya. Mungkin jika aku mati kesakitan di sampingnya saat ini juga, aku bahkan tak yakin dia akan sedikitpun mendengar jeritanku.

Yaah, tapi, dengan itu semua dapat membekukan sementara waktuku untuk bisa tetap menatap wajahnya tanpa dia menyadari. Karena, aku sungguh tak sanggup tuk menatap wajahnya jika matanya terpaku padaku. Maka ini adalah waktuku yang tepat jika aku ingin menatapnya lama lama. Memperkuat ingatanku tentang wajahnya yang tak setiap saat dapat ku resapi.

Aku benar benar jatuh cinta pada pria itu. Dengan tatapan mata yang dapat membawa sejuk dalam lautan api yang membara dalam jiwa, senyum yang hangat menjagaku dari dinginnya dunia. Dan hanya pria itu yang dapat memberiku ketenangan dalam setiap pelukannya. Kini, pria itu sedang menatap harta karunnya yang lain, yaitu hamparan biru yang luas. Inin sekali aku memeluknya dan mengutarakan apa yang aku fikir sekarang.

”Terimakasih tlah menjadikan aku harta karunmu yang berharga. Beruntung waktu tlah menyatukan rantai kehidupan kita sehingga detik ini kita tlah berjalan dalam tapakan yang sama, dalam langkah yang sama, dalam satu nafas yang sama. Kau bukan aku, tapi lorong kita tlah menyatu. Kebahagiaanku tlah bersatu denganmu.” Tapi, biarlah kau terlarut. Karena melihatmu bahagia adalah kebahagiaanku yang asli juga. Dan karena hanya ini satu satunya yang dapatku lakukan untukmu. Akanku jadikan pertemuan kita kali ini sebagai emas ingatanku tentangmu. Hanya wajahmu.

Lalu, kusandarkan kepalaku pada bahumu yang selalu menyambutku walau seluruh jiwa ragamu tercurah pada hamparan biru itu. Dan dengan lembut aku menutup kedua mataku.

Dapat aku rasakan dalam pandanganku yang gelap dia sedikit tersentak kaget saat aku bersandar padanya. Namun itu hanya sekejap. Dan dia memelukku dengan sebelah tangannya lalu berkata, ”Ini benar benar hari yang indah, sayang. Dapat menghabiskan waktu bersamamu menatap langit seperti ini. Aku sungguh merasa hidupku tlah lengkap. Lihatlah betapa indah langit yang luas itu.”

Perlahan, ku membuka mata tuk memandang cerminan laut yang dia suka. Memang tepat cerminan itu sungguh luar biasa. Sungguh pantas jika dia begitu mengagumi langit yang biru.

”Aku benar benar berharap waktu kehidupan berhenti sekarang juga. Karena jika tidak, jurang waktu terakhir kita untuk bisa tetap bersama tiba. Dan aku sama sekali tak bisa tinggal di tempat ini lagi. Ini adalah ujung waktuku menemani dirimu berada di sini. Kau tau itu, kan sayang?”

Aku sama sekali tak menjawab pertanyaannya itu. Hanya membeku karena tak sedikitpun aku dapat menerima ini. Sungguh berat bagiku.

Di tempat ini aku tumbuh seorang diri. Entah sejak kapan. Itu di jalan belakang yang sungguh amat sangat telah jauh sampai tak terlihat di jalan depan sini. Namun kesendirian itu lebur saat aku bertemu pria ini. Aku mulai dapat melihat betapa hebatnya langit yang selama ini melihatku dari ruang yang tinggi sana. Betapa baiknya hembusan lembut ini yang selalu membantu menyerka air mataku. Betapa baiknya bintang yang seti menjadi petunjuk arahku berjalan.

Dan tak lama setelah kami bertemu dia harus kembali pada ruang lamanya untuk waktu yang lama. Kesendirian itu kembali padaku, tapi tak sekejam saat sebelum aku bertemu pria itu. Karena aku tlah membuka diriku pada semua yang amat setia padaku. Hubungan kami juga selalu berjalan lurus hingga detik ini.

Ketika pertama mendengar dia akan datang, tak secuilpun terlintas itu pula berarti waktu terakhir kami dapat bertemu begini. Dan kami tak akan pernah dapat terhubung dengan komunikasi apapun. Karena dia akan berpindah ke suatu tempat yang tak ada alat komunikasi dapat digunakan. Aku tak dapat menemaninya. Dia tau itu. Tempat aku berinjak ini melarangnya, kecuali aku menikah dengannya. Tapi itu tak mungkin. Dia hanya boleh menikah setelah tugasnya ini selesai. Dan tak ada satupun yang tau hingga kapan tugas ini akan selesai. Seumur hidupnya pun iu dapat terjadi.

”Aku tak pernah memaksamu setia padaku. Begitupun sekarang. Kau dapat mencintai dan menikahi orang lain setelah aku pergi pagi besok.” sungguh sakit terdengar dalam setiap kata yang terucap olehnya. Serta seperti tertahan caranya berkata. Begitupun denganku, merasa sakit mendengarnya bicara.

”Apa sebegitu putus asanya dirimu? Kenapa kau begitu yakin kita tak akan pernah bertemu lagi? Aku akan selalu, selamanya menunggumu. Seperti selama ini. Atau kau tak percaya padaku?” pertanyaanku seperti sebuah doa harapan yang tanpa ada jawaban cahaya indah.

”Tidakkah kau dapat merasa, jika aku tak mau membuatmu menungu satu hal yang kosong? Sesungguhnya aku lebih percaya dari kau mempercayai dirimu sendiri jika kau dapat setia menungguku. Hanya itu alasanku dapat melepasmu. Itupun buka aku dapat dengan mudah melakukannya.”

Aku memberanikan diriku tuk menenggelamkan mataku dalam matanya lalu meyakinkannya. ”Kita sama sama tau apa yang saling kita rasa dan itu hanya satu. Lalu apakah yang membuat kita saling ragu? Jalan ini hanya satu, sayang. Dan jika telah dituliskan nama kita sebagai jodoh, bagaimanapun usaha kita untuk saling memisahkan diri, itu hanyakan menyia waktu. Kau tau itu, bukan?” dengan lembut aku ungkapkan padanya.

”Sudahlah, jika memang begitu keputusan kita, kita harus saling berjanji untuk percaya dan setia.” pria itu berkata sambil merangkul leherku dan menarikku berdiri.

”Aku akan mengantarmu pulang dan lekaslah bersiap untuk melihat pesta kembang api sebentar lagi. Ini sudah hampir waktunya.” waktu ini dia merubah warna katanya menjadi lebih ceria dan semakin sejuk yang hangat. Aku menyambut dengan senyum terindah untukknya, agar menjadi kenangan yang takkan terlepas. Sepanjang jalan tak satupun kata yang saling tersampaikan. Hanya menikmati mentar yang mulai terusir oleh bulan. Putaran kecil waktu telah berlalu dan itulah batas penikmatan kami terhadap pengusiran mentari. Aku tlah sampai di rumahku.

”Aku akan sampai satu jam lagi di sini.” Ucapnya seolah tak mau terlepas dariku.

”Hati hati di jalan.” Detik kemudian dia telah menghilang dari jangkauan mataku. Dan aku meninggalkan tempat yang mulai dingin ini untuk membuat diriku berubah menjadi sosok yang tak akan terlupa bagi kenangan yang mngkin bisa menjadi yang terakhir kami.

Tepat satu jam, sesuai dengan janjinya pintu rumahku diketuk. Sosok itu muncul. Dengan pesona yang melebihi waktu jauh. Masih dalam lingkar apa yang dia suka pakai, namun sesuatu pesona itu ada yang lain. Maaku tertancap padanya. Tak dapat terlepas dan terhipnotisku olehnya. Waktu mulai berjalan lagi ketika tangannya menyentuh pundakku. Senyumnya mengalir hingga hatiku. Tak jauh rasanya dengan mentari yang terusir tadi.

”Kau lebih dari cantik dan luar biasa saat ini. Itu memberiku kenangan tentangmu yang tak terambil biarpun waktu yang mencurinya.”

”Waktu takkan menunggu kita untuk sampai tepat waktu jika kita tak segera melangkah ke sana.” senyumku membalas pujiannya yang terpanah padaku.

Lalu kami, layaknya sepasang kupu kupu bercanda dan terbang ke tempat di mana pesta api dari bumi ke angkasa itu dimulai. Gaun putih yang ku pakai tertiup angin. Sepertinya dia mendorongku untuk terbang. Benar benar seperti kupu kupu. Juga begitu dengan pria ini. Dia menarikku tuk melangkah lebih jauh de udara.

Dan kami terhenti tepat di tempat itu. Tepat juga saat bunga angkasa terkirim ke langit. Kilauan itu membuat semua menjadi semakin dramatis. Dia yang menyukai langit semakin tak berkedip sekalipun menatapnya. Matanya sangat berbinar cerminkan kegembiraan dihatinya. Apa yang terlanjur di katakan padaku tadipun sepertinya terlanjur menjadi debu. Tak berlaku lagi.

Namun, hal semacam ini tak lama terjadi. Dia faham seberapa lama lagi kami dapat bersama seperti ini. Karena itu dia melayangkanku ke sebuah bangku. Bangku yang tak istimewa. Hanya bunga hidup di sekitarnya membuat bangku batu dingin itu menjai lebih indah. Tak terungkap rasanya bila melihat waktu yang maju. Namun waktu ini benar benar memaksaku tuk melihat waktu kedepan. Rupanya benang gaib yang mengikat kami membuatnya merasa apa yang saat ini terlintas. Tak ada yang dapat dia raih untukku. Karena sedang jatuh tertindas kami bersama.

”Bisakah aku memohon hal sederhana padamu?” itu adalah satu usahaku tuk memecah dan membuat sebanyak mungkin lembaran ngatan tentang kami.

”Permohonan apakah itu?”

”Sudikah kau bicara lebih banyak untukku? Aku tak kan mempersalahkan tentang apakah itu. Aku hanya ingin lebih mengingat suaramu.”

Permohonanku terkabul. Dia membukannya dengan senyum damai miliknya. Aku hanya menikmati, menyerap dan mengukir suaranya yang begitu dalam serta seperti subuh, seperti bintang malam yang selalu menjagaku dari mimpi yang menelanku dalam kegelapan. Bersama itu, aku perlahan menutup mataku tuk lebih dapat mendengarnya dalam riuh suara pesta api. Aku benar benar menikmati setiap kata yang terlepas darinya karena tak tahu apakah dapat aku mendengar suaranya lagi.

”Aku akan amat merindukanmu.” katanya tertahan dengan lirih. Hanya membuatku semakin ingin melepaskan air yang hampir menitik dari mataku.

Mengangguklah yang dapat aku lakukan untuk menutup kembali apa yang telah tersua darinya karena tak sanggupku berkata biar sekatapun.

”Bagaimana denganku? Dapatkah aku memohon sesuatu padamu?” mendengar ia ingin memohon sesuatu, aku membuka mataku dengan enggan.

”Permohonan apakah itu?” perlahan dan sendu tanya kusampaikan.

”Aku juga ingin mendengar suaramu lebih lama.” tangan kanannya menyentuh kepalaku lembut.

Tanpa dapat satupun kataku sampaikan, tetesan air mata bergantian menerjang menembus kaca bening.

”Selamaku pergi, itu terserah padamu apa sudi kau menantiku hingga mungkin aku tak kan kembali. Tapi aku, akan selalu setia padamu.”

Seiring dengan tangis, ku menjawabnya, ”Jalan kita adalah satu. Kemanapun kau melangkah, aku juga kan melangkah di jalan yang sama, entah kau yang terlebih dahulu berada di depan, atau aku yang terlebih dulu berada di sana. Aku akan selalu percaya padamu. Percaya kaukan selalu setia padaku, percaya kaukan segera kembali, percaya bahwa aku adalah satu satunya yangkan menjadi bagian pertama dari keluarga kecilmu nanti.”

”Kau telah percaya bahwa aku kan datang padamu secepat mungkin. Lalu mengapa kau masih menangis? Kenangan yang aku harap bukanlah ingatan tentang air matamu. Jadi tolonglah. Sekarang berikan aku senyuman mentarimu dan bicaralah sesuatu. Aku akan mendengarkanmu hingga pagi.” pria itu menyerka air mataku seperti angin timur.

Tersenyumlah aku sepenuh jiwa lalu mengeluarkan semua kata yang terangkai dalam kalimat di nada yang terangkat serta memendam, membuang jauh semua sisa sisi gelap dari cerita ini yang ada dalam tubuh jua fikirku, agar kami bisa menikmati segala waktu yang tersisa dengan pelangi setelah hujan. Dan aku kan pastikan tak ada dari kami yang dapat melupakan betapa indahnya pelangi malam di pesta api bumi ini.

”Aku tak kan mengucapkan selamat tinggal atau apapun kepadamu. Karena aku yakin, kita akan segera bertemu lagi. Bahkan lebih cepat dari yang pernah terlintas di benakmu.” itu lah hal yang di lontarkannya di penghujung pagi dari malam itu.

”Kau tau, apa yang ingin aku katakan padamu? Selamat segera datang kembali ke sini.”

TAMAT

Hanya ingin menulis di sini saja untuk menghabiskan waktu.. ^^a