Detik Kami


Puing Waktu Lalu

Kukan merasa lebih tenang jika ada tanganmu yang selalu menggenggam jiwaku dan berada pada satu hitam yang mengekor denganku.
***

Masa ini belumlah jauh melangkahkan jarumnya.. Ini tersirat masihlah tinggi antara kau dan aku. Bukan pungguk merindukan bulan, namun hanya aku yang mengharap kesatuan rumah dengan atapnya. Dan kini, aku benar benar cemburu pada mawar yang satu dengan durinya. Betapa mereka adalah satu kesatuan abadi. Tak seperti benang kusut tua lusuh ini. Sudahlah kusut, rapuh pula.

Tak bisa menyatukan, tak punya tangan tuk membantunya. Sungguh malang. Tapi, itulah aku. Tlah kehilangan tangan lain yang memberi kekuatan lebih untuk sluruh ragaku. Walau sesak rasanya, tak dapat kusesali waktu yang tlah jatuh.
Namun tak dapat pulaku pungkiri, tak sedikitpun dapat meguap dari ingatanku waktu yang berlalu bersamanya. Waktu tlah berganti menjadi bunga abadi tuk kami.
Kemdian terlingkar tali bagi ruang pribadi berdua. Tali yang dapat menghentikan masa bagi orang di dalamnya. Tali yang mengurung dan mengunci orang didalamnya. Tali yang takkan membiarkan siapapun masuk dalam ruang misterius itu. Sungguh tali yang ajaib.
Tapi, masa itu tlah jauh. Kini dimensi kami tlah berbeda. Hanyalah angan bila tangannya menggenggam hatiku. Punggungnya melindungiku dari bara api semesta. Sluruh dirinya sperti tercipta tuk terpasang padaku.
Pada nyatanya,itu hanya ilusi. Ilusi penghias duniaku. Hanya sebagai penambah warna hal yang luas tak terbatas. Sungguh malang diriku karna merasa bodoh dengan mengingat hal yang tlah tak ada. Tapi aku akan setia padanya. Adalah benar puing satu yang tercipta itu. Janji kami. Di tempat ini puing janji itu terbentuk. Tepat subuh ketika dia pergi. Ah, Betapa konyolnya aku. Dia pasti kembali. Bukannya itu yang aku yakini dalam janji waktu? Apalah lagi yang fikir ini jalankan tentang keraguan?
Fikir tlah perlahan menjadi butiran hitam dari fakta. Fakta buta namun adalah peluang dari cahaya. Aku sungguh takut dengan sepenuh hati, fakta buta itu menjadi mlik cahaya kegelapan.
Lalu terjadi dalam nyataku, kita benar terlepas. Sudah tidak jauh dalam ikatan. Namun benar benar jauh dengan segala arti dari jauh dalam lingkup kegelapan. Keraguanku ini memulai tuk memanggil dan sepenuh yang kumiliki meneriakkan kembali waktu bersama, namamu, serta apapun yang menjadi bagian atas hal tak pasti tentangmu. Karna satu satunya dari semua yang bisa memulihkan ku dalam tenang.
Sungguhpun aku sekali lagi dan terus lagi tahu sertapun mengerti ini bukanlah hal yang tepat. Hanya melihat kembali waktu berlalu bersama angin. Andaikan dia tetap memliki kunci dari jalan yang sama denganku. Sedikitpun takkan ada perandaian dia memiliki keinginan serta harapan untukku membekukan masaku agar selalu dapat mengenangnya seperti sekarang. Dan begitu kubakar es, dia telah berada disampingku lagi. Seolah tak sedikitpun dia menghilang dariku.
Aku yang sedari tadi menutup kedua mataku, dengan sungguh perlahan membukanya. Semua ini membuat ku merasa berada pada klimaks awal jalan tak pasti.
Sungguh benar sulit tuk menungkapkan bagaimana rasa gundah yang kumiliki. Dengan berat, jadi pula kuataskan wajah tuk menatap sesuatu yang dia suka, sesuatu yang menjadi saksi detik demi detik hingga ujung jari kami terpisah. Walau ku merasa duniaku berkeping, tetap saja langit itu tak berubah seperti sebelumnya. Langit yang dia suka. Masih memliki rasa yang sama layaknya angin lalu.
Satu satunya hal yang terlintas di fikirku hanya, "apa di harimu yang sibuk ini, masih terdapat ruang waktu tuk melakukan sesuatu yang sama denganku sekarang? Menatap salah satu harta karunmu yang luas." Ah, semoga saja kau sedang menatapnya.
Karna tentu saja dengan langit itu, aku merasa bersama kita ada dalam ruang yang satu. Dan dapat lebih mempercayai bahwa dirimu masih mengingatku. Ya, semoga saja engkau yang berada pada jauh sana masih menyadari bahwa ada seseorang sedang mengharap waktu cepat berlalu sampai datang saat dirimu kembali.
Namun kau tau? Sesungguhnya aku biar bagaimanapun meragu. Dapatkah kita bertahan pada masa yang begini? Dapatkah kita saling setia tanpa ikatan yang nyata? Bagaimana jika datang masa lain. Di mana aku di ambang ragu lalu lari pada hati dekat lain? Aku jelas bahwa kau tak menahanku, namun lebih dari sekedar rumit tuk menjelaskan kontras di hati saat hal itu terjadi. Karna perang antara hati dan fikir.
Seblum detik ini, beribu juta ratus milyar kali kufikir, mencari jalan lain agar tak perlu ini terjadi. Kau di sana aku di sini, bukan pada satu tempat yang sama.
Kelamnya, hingga detik tandukpun, tak ada setitik cahyapun yang menerangi gelap dalam jalan kami. Kumerasakan, mugkin adalah itu yang tak dapat aku trima hingga sekarang dan nanti sampai dia kembli.
Kalimat itu membuatku melayangkan fikir, "akankah suatu hari nanti aku membenci masa di kala mataku menatap matamu untuk pertama kali? Akankah aku bahkan membenci terbentuknya janji janji slma ini? Akankah terbentuk sesal atas smua antara kau dan ak? Akankah aku akan berlindung dalam benci darimu untuk hatiku? Dapatkah akhirnya benar kulakukan semua ini hanya karna satu masa itu? Menghitamkan satu ruang cahaya putih istmewa hanya karna kutak sanggup memilih jalan yang seharusnya kutapaki, karna kutak dapat melupakan mu setelah memilih jalan tuk sebenar benarnya mengusirmu dari ruang istimwa itu."
Oh, hilangnya dirimu membuatku memfikirkan hal hal gelap lain. Walau benar ku mengerti, bagaimana seharusnya ku bersikap serta menetukan sikap. Dan aku memang tlah memilihnya. Tuk menepati janji kita. Janji di tempat ini, bersama bangku yang terselimutkan tangan tangan mawar putih serta bertikarkan hamparan hijau yang terblah oleh aliran air mata langit tuk bmi. Dan Percayalah, ku kan menggengamnya.